Senin, 03 Mei 2010

KEWARGANEGARAAN

KAMPUNG HALAMAN

Kemacetan lalu lintas kian hari makin menggila. Nyaris tak ada kawasan yang bebas macet baik jalan utama,jalur alternative maupun pada jalan pinggiran. Manajemen lalu lintas terkesan amburadul. Kemacetan terjadi dimana-mana, kendaraan nyaris tak bergerak seperti lumpuh. Hampir disemua jalan ratusan kendaraan bergerak merayap. Itulah yang saya rasakan setiap pagi saat saya berangkat bekerja. Rasanya kemacetan di Medan tidak kalah dengan kemacetan lalu lintas dijantung ibukota, Jakarta.

Memang waktu pertama kali ayah mengatakan bahwa kami sekeluarga akan bertransmigrasi ke Sumatera, saya sangat merasa senang mendengarnya karena hanya satu yang terbesit didalam benak saya, saya dapat mengejar cita-cita saya disebuah kota yang cukup besar didaerah Sumatera, karena selain peralatan tekhnologi yang lebih memadai disbanding dikampung ini, saya dapat mempelajari perbedaan pola fikir dan tingkah laku dikota dengan didesa. Meskipun dari dalam lubuk hati ini terasa sangat berat untuk meninggalkan Tuban, yang menjadi tempat kelahiran saya, namun saya tetap harus pergi. Selain karena tugas ayah, saya juga harus melanjutkan pendidikan SMU dan Perguruan Tinggi disana demi tercapainya cita-cita saya.

Awalnya saya sangat bahagia sesampainya disini, saya berusaha keras untuk dapat mengikuti keadaan disini. Ternyata keadaan di Medan sangat jauh berbeda dengan keadaan di Tuban, bukan hanya lingkungannya saja namun pola fikir dan tingkah laku manusianya juga cukup berbeda.

Masa-masa SMU saya disini sangat menyenangkan karena dari sekolah itulah saya bisa mendapatkan banyak teman. Memang awalnya cukup sulit untuk menyesuaikan diri dengan mereka semua, namun dengan seiring berjalannya waktu akhirnya saya bisa dekat dan saling berbagi dengan mereka hingga akhirnya saya memiliki tiga orang sahabat. Banyak waktu yang saya habiskan bersama mereka.

Tak terasa saatnya saya memilih Perguruan Tinggi yang saya inginkan beserta jurusannya. Kedua orang tua saya selalu mendukung apa saja yang saya mau. Akhirnya sayapun memilih jurusan Sastra Inggris di salah satu Universitas swasta di Medan. Cita-cita saya dari kecil ingin menjadi guru, itulah sebabnya saya memilih Sastra Inggris hingga rela berpisah dengan ketiga sahabat saya.

Memang suasananya tidak seseru di SMU dulu, namun teman-teman disini tidak kalah asyiknya dengan teman-teman di SMU. Entah kebetulan atau tidak, disini saya juga mendapatkan tiga orang sahabat. Bedanya waktu SMU dulu sahabat saya perempuan semua, sedangkan saat ini sahabat saya dua perempuan dan satu laki-laki.

Pada waktu liburan semester genap, saya berlibur disebuah desa rumah nenek dari salah satu sahabat saya. Suasananya sangat nyaman dan asri, jauh dari polusi yang selalu saya rasakan. Persawahan yang begitu luas dan hijau dengan nyanyian burung setiap pagi dan suara jangkrik setiap malam. Persawahan dan suara jangkrik itu mengingatkan saya pada sahabat-sahabat kecil saya di kampung halaman saya. Dulu saya selalu mencari jangkrik bersama sahabat-sahabat saya untuk makanan burung peliharaan sahabat saya. Dengan susah payah setip malam kami mencari jangkrik namun dengan kerjasama yang kuat maka kami selalu merasa senang setiap kali kami mencari dan menangkap jangkrik di sawah, karena bagi kami adalah kebersamaannya yang paling penting, sedih dan rindu jika mengingat hal itu. Seandainya saya bisa berkomunikasi dengan mereka minimal lewat telepon, mungkin rasa rindu ini bisa sedikit terobati.

Akhirnya selesai sudah kuliah saya, setelah hampir 5 bulan saya mencari dan melamar pekerjaan, diterimalah saya di SLTP 3 Medan sebagai guru B.Inggris. Saya mengabdi sesuai kemampuan saya, saya berusaha memberikan seluruh ilmu yang saya miliki kepada murid-murid saya.

Tanpa terasa 3 tahun sudah saya mengabdi menjadi seorang guru. Kejenuhan mulai saya rasakan karena aktifitas yang terlalu rutin setiap harinya. Akhirnya pada saat liburan sekolah, saya memilih untuk berlibur ke kampung halaman saya di Tuban. Selain rindu dengan sahabat-sahabat kecil saya, saya juga sangat merindukan suasana pedesaan yang asri jauh dari polusi.

Sepanjang perjalanan saya bingung, semuanya sudah berubah, sudah tak ada lagi pohon-pohon besar yang menutupi perkebunan. Sudah tak ada lagi warung-warung kecil dan rumah-rumah kumuh di pinggir-pinggir jalan. Semua sudah berubah menjadi pertokoan atau supermarket yang cukup besar. Sesampainya disana, saya lebih dikejutkan lagi dengan sahabat-sahabat kecil saya yang sudah berkeluarga dan memiliki anak yang tinggal di perumahan mewah dengan supemarket besar dan fasilitas lainnya di sekelilingnya. Sudah tidak lagi sawah tempat saya bersama sahabat-sahabat kecil saya mencari jangkrik. Tidak terlihat sama sekali bangunan rumah sederhana saya dulu. Benar-benar berbeda jauh dari pedesaan yang saya bayangkan dan saya rasakan dulu.

Rasanya sudah tidak ada bedanya lagi dengan tempat tinggal saya di Medan. Namun, meskipun saya tidak dapat merasakan suasana pedesaan yang saya harapkan, hal yang membuat saya bahagia adalah bisa bertemu dan berkumpul bersama sahabat-sahabat kecil saya setelah 10 tahun kami tidak bertemu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar